Sunday, March 20, 2011

Budaya Wayang di Indonesia

Indonesia sungguh kaya akan budaya, kebanyakan dari orang Indonesia hanya sebatas tau kalau kebudayaan di indoesia ini sangat banyak ragamnya, tetapi hanya beberapa saja yang mengerti dan menghayati kebudayaan yang dimilikinya. Pada Tulisan Kali ini sejuta budaya akan menulis tentang wayang & ragamnya yang ada di Indonesia.

Wayang berasal dari kata wayangan, yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita, sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang. Menurut para ahli budaya & penemuan penyelidikan para ahli arkeologi Indonesia, kesenian budaya wayang sudah ada sejak dulu, ketika jaman "kuno", yaitu jaman sebelum agama Hindu & Budha.Jadi wayang itu asli kebudayaan bangsa Indonesia. Saat itu budaya wayang erat hubunganya dengan memuja kepercayaan animisme yang dianut para leluhur bangsa Indonesia.

Dengan berkembangnya kebudayaan, wayang menjadi sangat beragam dan ceritanya dikembangkan sesuai Perkembangan jaman saat itu

1. Wayang Kulit Purwo
    dilatar belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari Kitab Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari India. Ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan "lakon" (Judul) cerita yang dipetik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pencucian diri manusia). Pagelaran Wayang Kulit Purwa Biasanya memakan waktu semalam suntuk.

wayang purwa

2. Wayang Orang
    Semasa Sri Susuhunan X di Solo didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.

wayang orang

3. Wayang Potehi
    Seniman cina juga mengge wayang golek cinta yang disebut "Wayang Potehi" dengan cerita dari negeri cina serta iringan musiknya khas Cina

wayang potehi

4. Wayang Beber
    Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).

wayang-beber

5. Wayang Klitik
    Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).

wayang klitik

6. Wayang Rumput

wayang rumput

Masih banyak lagi ragam budaya wayang yang ada di Indonesia seperti Wayang Menek, Wayang Golek Sunda, Wayang Kulit Sasak dan masih banyak yang lainnya.

Melestarikan budaya Sendiri adalah perbuatan Mulia untuk diri sendiri.


Read More >

Sunday, March 13, 2011

Pernikahan Adat Jawa

Di bumi Indonesia yang kaya akan ragam budaya, adat istiadat yang dimiliki beragam pula. Termasuk di dalamnya prosesi pernikahan.

Adat Jawa misalnya. Kebanyakan orang hanya mengenal proses siraman dan midodareni. Padahal ada beberapa proses lain yang tak kalah pentingnya. Walau terkesan njelimet, tak ada salahnya kan jika Anda mengenal lebih jauh prosesi pernikahan adat Jawa.

Proses pernikahan adat Jawa dimulai dengan Siraman yang dilakukan sebagi proses pembersihan jiwa dan raga yang dilakukan sehari sebelum ijab kabul.

Pernikahan JawaAda 7 Pitulungan (penolong) yang melakukan proses siraman. Airnya merupakan campuran dari kembang setaman yang disebut Banyu Perwitosari yang jika memungkinkan diambil dari 7 mata air. Diawali siraman oleh orangtua calon pengantin, acara siraman ditutup oleh siraman pemaes yang kemudian memecahkan kendi.

Beranjak malam, acara dilanjutkan dengan Midodareni, yaitu malam kedua mempelai melepas masa lajang. Dalam acara Midodareni yang digelar di kediaman perempuan ini, ada acara nyantrik untuk memastikan pengantin laki-laki akan hadir pada ijab kabul dan kepastian bahwa keluarga mempelai perempuan siap melaksanakan perkawinan dan upacara panggih di hari berikutnya.

Upacara Panggih

Usai acara akad nikah dilakukan upacara Panggih, di mana kembang mayang dibawa keluar rumah dan diletakkan di persimpangan dekat rumah yang tujuannya untuk mengusir roh jahat. Setelah itu pengantin perempuan yang bertemu pengantin laki-laki akan melanjutkan upacara dengan melakukan :

1. Balangan suruh
Melempar daun sirih yang melambangkan cinta kasih dan kesetiaan

2. Wiji dadi
Mempelai laki-laki menginjak telur ayam hingga pecah, kemudian mempelai perempuan akan membasuh kaki sang suami dengan air bunga. Proses ini melambangkan seorang suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarganya.

3. Pupuk
Ibu mempelai perempuan mengusap mempelai mantu laki-laki sebagai tanda ikhlas menerimanya sebagai bagian dari keluarga.

4. Sinduran
Berjalan perlahan-lahan dengan menyampirkan kain sindur sebagai tanda bahwa kedua mempelai sudah diterima sebagai keluarga.

5. Timbang
Kedua mempelai duduk di pangkuan bapak mempelai perempuan sebagai tanda kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besarnya.

6. Kacar-kucur
Kacar-kucur yang dituangkan ke pangkuan perempuan sebagai simbol pemberian nafkah.

7. Dahar Klimah
Saling menyuapi satu sama lain yang melambangkan kedua mempelai akan hidup bersama dalam susah maupun senang.

8. Mertui
Orangtua mempelai perempuan menjemput orangtua mempelai laki-laki di depan rumah untuk berjalan bersama menuju tempat upacara.

9. Sungkeman
Kedua mempelai memohon restu dari kedua orangtua.

Akhir-Akhir ini upacara pernikahan adat Jawa banyak mengalami pergeseran. Banyak bagian-bagian yang sering dilewatkan karena dianggap tidak penting seperti : Wiji Dadi, Pasang Tarub & yang lain dipermudah. Hal ini dilakukan karena upacara yang runtut sangat rumit & panjang.

(Diambil dari Kompas.Com dengan tambahan)


Read More >

Saturday, March 12, 2011

Keris

KerisKeris adalah senjata tikam golongan belati berujung runcing, tajam pada kedua sisinya & bentuknya berliku-liku tidak simetris. Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi.

Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan, dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.

KEUNIKAN KERIS

Keris berdiri

1. Keris yang baik, walaupun bentuknya berliku-liku tetapi memiliki keseimbangan sempurna, sehingga keris bisa diletakkan berdiri.

2.  Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris adalah besi dan baja. Untuk membuatnya ringan para empu (pembuat) selalu mencampur bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai campuran nikel. Keris masa lalu (keris kuna) yang baik memiliki campuran batu meteorit yang diketahui memiliki kandungan titanium yang tinggi.

3. Untuk membuat Pamor, seorang empu (pembuat keris) harus menempa bahan, kemudian dilipat, ditempa lagi beribu-ribu kali bahkan puluhan ribu kali.

Pamor Keris

Sumber : Buku Ensiklopedia Keris, wikipedia.org, google.com


Read More >

Babad Tanah Jawi, Mahakarya Budaya Indonesia

Babad tanah jawi merupakan karya sastra sejarah dalam bentuk Tembah Jawa. Sebagai Babad / Babon / Buku besar dengan pusat kerajaan Mataram, buku ini memuat setiap kajian mengenai hal-hal yang terjadi di tanah Jawa. babad tanah jawi

Buku ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik di dalam buku ini dimuat sejarah Nabi Adam dan Nabi-Nabi lainnya sebagai nenek-moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam. Selanjutnya dimuat Silsilah raja-raja Pajajaran, Majapahit, Demak & terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke 18.

 

Babad Tanah Jawi ini punya banyak versi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain ahli sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura di abad 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah: terlalu sarat campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang banyak beredar hingga kini.
Balai Pustaka juga tak mau kalah. Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Babad_Tanah_Jawi


Read More >

Mitos Kanjeng Ratu Kidul, Budaya Masyarakat Jawa

Di suatu masa, hiduplah seorang putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan putra dari perkawinan tersebut. Maka, bahagialah sang raja. 

Nyi Roro Kidul - Affandi

Dewi Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan keinginannya itu.

Pada pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya. “Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah Sang Ratu. Pada malam harinya, tubuh Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.

Ketika Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.

Puteri yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu kemana harus pergi. Dia hampir tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan mendampinginya dalam menanggung penderitaan.. 

Hampir tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya, mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.

Kanjeng Ratu Kidul = Ratna Suwinda

Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.

Generasi selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana Solo dan Yogyakarta.

Begitulah dua buah kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar bagi tulisan selanjutnya. 

Kanjeng Ratu Kidul dan Keraton Yogyakarta

Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?

Y. Argo Twikromo dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan. 

Sebagai sebuah hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi, penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut. 

Menurut Twikromo, bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman. 

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono, menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.

Kepercayaan terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu. Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari (Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul. 

Penghayatan mitos Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan. Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu. 

Selain Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan. 

Kepercayaan terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini, tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh mantan presiden Soekarno. 

Sampai sekarang, di masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi. Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.

Sumber


Read More >

Taman Sari Ikon Arsitektur Budaya Masyarakat Jawa

Taman Sari atau yang biasa dikenal dengan Water Castle merupakan salah satu peninggalan bersejarah di Kota Yogyakarta yang dibangun pada tahun 1758 oleh Sultan Hamengkubuwono I. Lokasi Taman Sari terletak di sebelah barat istana sultan – kraton Yogyakarta, sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki. Konon Taman Sari merupakan taman air yang sangat indah dan mempesona.
Sejak beberapa waktu yang lama, berkenaan dengan terjadinya penyerangan dari bangsa asing pada tahun 1812 dan menyusul kemudian bencana alam pada tahun 1867, beberapa bangunan di dalam komplek Taman Sari sudah hancur. Sejak saat itu, kondisi Taman Sari semakin lama semakin memprihatinkan. Sebagai ikon arsitektur bersejarah di Yogyakarta, Taman Sari tidak mendapatkan pemeliharaan yang optimal.
Saat ini di dalam Taman Sari selain terdapat taman dan kolam pemandian, juga terdapat beberapa puing-puing bekas bangunan lama, bentuk-bentuk lengkungan dari setiap pintu masuk menuju menara serta koridor bawah tanah.
image
Dua kata Taman Sari itu sendiri berarti taman yang indah dimana pada zamannya dulu dibangun sebagai tempat untuk menentramkan hati, istirahat dan rekreasi bagi Sri Sultan beserta kerabat Keraton Yogyakarta. Namun dahulunya Taman Sari juga dipersiapkan sebagai benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Selain itu, Taman Sari juga digunakan sebagai tempat ibadah, oleh karenanya Pesanggrahan Taman Sari dilengkapi dengan mushola, yang terdapat di bawah tanah, yaitu Sumur Gemuling.
Taman Sari yang merupakan arsitektur bersejarah kota batik ini, memiliki gaya arsitektur jawa tradisional dengan pengaruh kuat dari gaya Portugis. Arsitek Taman Sari itu sendiri konon berdasarkan salah satu versi sejarahnya adalah seorang pendatang berkebangsaan Portugis tanpa nama. Namun karena kepercayaan Sri Sultan maka ia diberi nama Demang Portegis. Sementara itu beberapa bagian arsitektur dan relief di dalam komplek Taman Sari merupakan perpaduan antara gaya arsitektur Hindu, Budha, Islam, Eropa dan Cina.
Di masa lampau, komplek Taman Sari dihiasi dengan banyak tumbuhan bunga Kenanga, sehingga tempat ini disebut juga sebagai pulau Kenanga. Di atas pulau Kenanga ini terdapat bangunan bertingkat dengan nama Majethi yang kemudian disebut sebagai Cemethi. Sehingga, pulau Kenanga ini dikenal juga sebagai Pulau Cemethi. Dari bangunan inilah, hampir setengah dari kota Yogyakarta bagian selatan dapat terlihat. Tempat ini dahulunya biasa digunakan sebagai tempat untuk bersemedi, mengheningkan cipta, memadukan cita dan karsa dalam rangka memimpin Kasultanan Yogyakarta. Bangunan-bangunan lain yang berada dalam satu komplek Taman Sari diantaranya adalah Umbul Binangun, kolam pemandian Sri Sultan, gapuro-gapuro megah, dan tempat ibadah yang disebut Sumur Gemuling.
image
Perancang memberikan gaya khas pada Taman Sari sebagai sebuah bangunan istana air yang mempunyai kolam pemandian di dalamnya. Kolam pemandian tersebut diisi dengan air seolah-olah bagaikan laut buatan. Di dalam kolam pemandian Umbul Binangun inilah, para istri Sri Sultan bercengkerama. Sementara itu Sri Sultan berada dalam ruang pada bangunan yang lebih tinggi sambil mengintip dan memilih salah satu istri untuk menemaninya bercengkerama di kolam pemandian yang lebih privat. Pada sisi bangunan tinggi inilah, jendela dibuat kisi-kisi kayu sebagai bidang semi transparan agar Sultan dapat leluasa melihat ke arah kolam pemandian dari dalam ruangan.
Saat ini, Komplek Taman Sari sebagian besar menjadi tempat permukiman bagi para seniman muda yang berkarya di bidang seni lukis batik. Hasil karya mereka dijual bagi para wisatawan khususnya wisatawan asing dan pastinya harga yang ditawarkan cukup tinggi namun relatif terjangkau bagi para turis. Komplek Taman Sari ini rasanya semakin saja terancam punah dimakan jaman dan karena pemeliharaannya kurang optimal. Sebuah arsitektur bersejarah sebagai ikon budaya Yogyakarta yang wajib dipelihara demi lestarinya peninggalan dan warisan budaya.
image
Demi lestarinya arsitektur Taman Sari, maka beberapa usaha untuk mempertahankan peninggalan sejarah tersebut dilakukan atas kerjasama oleh beberapa pihak. Saat ini pesona dari arsitektur Taman Sari sudah semakin mencerminkan sebuah ikon bersejarah. Beberapa hasil renovasi pada area kolam pemandian Umbul Binangun termasuk Gapura Agung, Gedong Sekawan, Gedong Temanten dan Gapura Panggung sudah nampak terlihat hasilnya. Sungguh pemandangan yang indah, sangat berbeda dengan kondisi Taman Sari dahulunya sebelum disentuh oleh tangan-tangan yang perduli akan warisan budaya.
Walaupun beberapa permukaan sudah tersapu oleh warna-warna cat yang memberikan kesan tidak kuno, namun tetap saja karakter dan pesona kemegahan dari komplek pemandian tersebut, masih saja terlihat elegan. Saat memasuki komplek pemandian ini, sebuah gapura yang disebut sebagai Gapura Agung menyambut pengunjung. Gapura Agung tersebut masih berdiri megah dan elegan sehingga menambah pesona sejarah dari komplek Taman Sari tersebut.
image
Karakter sejarah sebagai peninggalan warisan leluhur, menyebabkan Taman Sari menjadi ikon bagi kota Yogyakarta. Hal ini menjadi kebanggaan baik bagi masyarakat Yogyakarta umumnya maupun penduduk sekitar komplek Taman Sari khususnya. Keindahan yang disajikan oleh Taman Sari tidak saja mempesona bagi para wisatawan yang datang, namun membuat para pemeduli bangunan bersejarah di seluruh dunia meliriknya. Dengan adanya keperdulian inilah, maka diharapkan kelestarian dari ikon bersejarah ini tetap terjaga keutuhannya.

Read More >

Bedhaya Ketawang, Ritual Tarian Mistik yang Sakral

bedoyoKetawan

Bedhaya Ketawang Salah satu dari 9 penarinya adalah Nyi Rara Kidul

Didala istana sultan jawa (keraton jogjakarta dan kraton solo) secara periodik diadaka sebuah tarian sakral yang bernama tarian bedoyo ketawang atau di sebut juga tarian langit, yaitu suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepadaSang Pencipta Allah SWT

Pada awal mulanya tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta Cuma diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun dalam perkembangan selanjutnya, karena tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang penari.

dari kesembilan penari tersebut 8 penari diperankan oleh putri-putri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yag dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul

Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).

Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati) Bedhaya Gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX) Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya.

Tentang siapa pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih rancu.

Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati, segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samodera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan) dan terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh Raja-Raja Jawa yang Turun Temurun atau Raja-Raja Penerus.

Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang.

sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan atu yang disebut juga upacara ritus yang harus dipenuhi oleh kreton dan para penari tersebut yaitu:

Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton diibaratkan sebagai pusat dari Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam semesta,letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah:

1. Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar

2. Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul

3. Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono)

4. Dibagian Timur terdapat Taawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.

selain itu putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan dan menjalankan pusa tertentu sebelum melakukan tarian.

Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk nyai rara kidul yang diyakini memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja,mereka itu perlambang cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipuluhkan lagi. Tembang yang dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam. Hadirin yang terpilih untuk melihat atau menyaksikan tarian ini harus dalam keadaan khusuk,semedi,hening dan heneng dalam artian hadirin selama tarian berlangsung tidak boleh berbicara, makan dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.

Tarian Bedhoyo Ketawang besar hanya di lakukan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali sedangkan tarian bedhaya ketawang kecil dilakukan pada saat Penobatan raja atau sultan, pernikahan salah satu anggota keraton yang ditambah simbol-simbol yang sesuai dengan maksud dan tujuan Bedhaya ketawang di lakukan.

sumber : Agama dan Kerohanian asli Indonesia (R. Subagyo)


Read More >